USAHA PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN
KEMERDEKAAN INDONESIA
DENGAN PERJUANGAN FISIK
A. KEDATANGAN SEKUTU DAN NICA DI INDONESIA
Setelah Jepang menyerah pada sekutu pada tanggal 14
Agustus 1945, sekutu kemudian memerintahkan Jepang untuk melaksanakan status quo, yaitu menjaga situasi dan
kondisi sebagaimana adanya pada saat itu sampai kedatangan tentara sekutu ke
Indonesia.
Pihak sekutu memutuskan bahwa pasukan – pasukan Amerika
Serikat akan memusatkan perhatian pada pulau – pulau di Jepang, sedangkan
tanggung jawab terhadap Indonesia dipindahkan dari SWPC (South West Pasific
Command) dibawah komando Amerika Serikat kepada SEAC (South East Asia Command)
di bawah komando Inggris yang dipimpin Laksamana Lord Louis Mountbatten. Sebelum kedatangan tentara sekutu ke Indonesia,
pada tanggal 8 September Laksamana L. L. Mountbatten mengutus tujuh perwira
Inggris di bawah pimpinan Mayor A. G. Greenhalgh ke Indonesia. Tugasnya adalah
mempelajari serta melaporkan keadaan di Indonesia menjelang pendaratan pasukan
sekutu.
Pada tanggal 16 September 1945 rombongan perwakilan
sekutu berlabuh di Tanjung Priok. Rombongan ini dipimpin oleh Laksamana Muda W.
R. Patterson. Dalam rombongan ini ikut pula C. H. O. Van der Plas yang mewakili
pimpinan NICA yaitu Dr. H. J. Van Mook. Setelah itu pada tanggal 29 September 1945 tibalah pasukan
SEAC di Tanjung Priok, Jakarta di bawah pimpinan Letjend Sir Philip Chistison. Pasukan ini bernaung di bawah bendera AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies).
Pasukan AFNEI terbagi menjadi 3 divisi yaitu :
§ Divisi India ke-23, di pimpin oleh
Mayor Jendral D.C. Hawthorn bertugas di Jawa Barat
§ Divisi India ke-5, di pimpin oleh
Mayor J E.C Marsergh bertugas di Jawa Timur
§ Divisi India ke-26, di pimpin oleh
Mayor Jendral H.M. Chambers bertugas di Sumatra
Pasukan AFNEI di pusatkan di Barat
Indonesia terutama wilayah Sumatera dan Jawa, sedangkan daerah Indonesia
lainnya, terutama wilayah Timur diserahkan kepada angkatan perang Australia.
AFNEI diserahi beberapa tugas sebagai berikut :
§ Menerima
penyerahan kekuasaan dari tangan Indonesia.
§ Membebaskan
para tawanan perang dan interniran sekutu
§ Melucuti
dan memulangkan tentara jepang
§ Memulihkan
keamanan dan ketertiban
§ Mencari
dan mengadili para penjahat perang.
Kedatangan sekutu ke Indonesia
semula mendapatkan sambutan hangat dari rakyat Indonesia, seperti kedatangan
Jepang dulu. Akan tetapi setelah diketahui mereka datang disertai orang-orang NICA (Netherlands Indies Civil Administration), sikap rakyat Indonesia
berubah menjadi penuh kecurigaan dan bahkan akhirnya bermusuhan. Bangsa
Indonesia mengetahui bahwa NICA berniat menegakkan kembali kekuasaannya.
Situasi berubah memburuk tatkala NICA mempersenjatai kembali bekas anggota KNIL (Koninklijk Nederlands Indies Leger). Satuan – satuan KNIL yang
telah dibebaskan Jepang kemudian bergabung dengan tentara NICA. Diberbagai
daerah, NICA dan KNIL yang didukung Inggris/Sekutu melancarkan provokasi dan
melakukan teror terhadap para pemimpin nasional.
Untuk meredakan ketegangan
tersebut, pada tanggal 1 Oktober 1945 panglima AFNEI menyatakan pemberlakuan
pemerintahan Republik Indonesia yang ada di daerah – daerah sebagai kekuasaan
de facto. Kerena pernyataan tersebut pemerintah RI menerima pasukan AFNEI
dengan tangan terbuka, bahkan pemerintah RI memerintahkan pejabat daerah untuk
membantu tugas – tugas AFNEI.
Pada kenyataannya kedatangan pihak
sekutu selalu menimbulkan insiden di beberapa daerah. Tentara sekutu sering
menunjukkan sikap tidak menghormati kedaulatan bangsa Indonesia. Lebih dari
itu, tampak jelas bahwa NICA ingin mengambil alih kembali kekuasaan di
Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa AFNEI telah menyimpang dari misi awalnya.
Kenyataan tersebut memicu pertempuran di beberapa daerah seperti Surabaya,
Sukabumi, Medan, Ambarawa, Manado, dan Bandung.
B. PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN
DENGAN KEKUATAN SENJATA
1. Pertempuran Surabaya
Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang
antara pihak tentara Indonesia dan pasukan sekutu. Peristiwa besar ini terjadi
pada tanggal 10 November 1945 di kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini
adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasikan asing setelah Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia dan salah satu pertempuran terbesar dan terberat dalam
sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional perlawanan
nasional terhadap kolonialisme.
Tentara sekutu mendarat di Surabaya pada tanggal 25 Oktober
1945, dibawah pimpinan Brigjen Aubertin Walter Sothern (A.W.S) Mallaby yang
berkebangsaan Inggris. Kedatangan pasukan sekutu disambut baik oleh Gubernur
Jawa Timur R.M.T.A Soeryo. Kemudian antara wakil-wakil pemerintahan RI dan
Brigjen AW.S Mallaby mengadakan pertemuan yang menghasilkan kesepakatan sebagai
berikut :
§
Inggris berjanji mengikut sertakan Angkatan
Perang Belanda
§
Disetujui kerjasama kedua belah pihak untuk
menjamin keamanan dan ketentraman
§
Akan dibentuk kontak biro agar kerja sama
berjalan lancar
§
Inggris hanya akan melucuti senjata jepang
Pada tanggal 26 Oktober 1945 pasukan sekutu melanggar
kesepakatan terbukti melakukan penyergapan ke penjara Kalisosok. Mereka akan
membebaskan para tawanan Belanda diantaranya adalah Kolonel Huiyer. Tindakan
ini dilanjutkan dengan penyebaran pamphlet-pamflet yang berisi perintah agar
rakyat Surabaya menyerahkan senjata-senjata mereka. Rakyat Surabaya dan TKR
bertekad akan mengusir Sekutu dari bumi Indonesia dan tidak akan menyerahkan senjata mereka.
Kontak senjata antara rakyat Surabaya melawan Inggris
terjadi pada tanggal 27 Oktober 1945. Para pemuda dengan perjuangan yang gigih
dapat melumpuhkan tank-tank Sekutu dan berhasil menguasai objek-objek vital.
Strategi yang digunakan rakyat Surabaya adalah dengan mengepung dan
menghancurkan pemusatan-pemusatan tentara Inggris kemudian melumpuhkan hubungan
logistiknya. Serangan tersebut mencapai kemenangan yang gemilang walaupun
dipihak kita banyak jatuh korban. Pada tanggal 29 Oktober 1945 Bung Karno
beserta Jenderal D.C Hawthorn tiba di Surabaya. Dalam perundingan antara
pemerintahan RI dengan Mallaby dicapai kesepakatan untuk menghentikan kontak
senjata. Kesepakatan ini dilanggar oleh pihak sekutu.
Pada tanggal 30 Oktober 1945 terjadi pertempuran yang hebat
di Gedung Bank Internatio dan Jembatan Merah. Pertempuran itu menewaskan
Brigjen A.W.S Mallaby. Kematian Brigjen A.W.S Mallaby itu mejadi dalih bagi
Inggris untuk menggempur rakyat Surabaya dan menuntut “menyerah tanpa syarat”.
Pada tanggal 7 November 1945, pemimpin tentara Inggris yang
baru, Mayjen E.C Marsergh memberikan ultimatum kepada rakyat Surabaya, dengan
isi ultimatumnya adalah :
§
Rakyat Surabaya harus bertanggung jawab atas
terbunuhnya Brigjen A.W.S Mallaby.
§
Rakyat Surabaya harus menyerahkan senjata dan
mengibarkan bendera putih sebagai tanda “menyerah”.
Batas waktu yang ditentukan untuk ultimatum ini adalah
paling lambat tanggal 10 November 1945, pukul 06.00 WIB. Jika ultimatum tidak
dilaksanakan, maka pasukan Inggris akan mengerahkan pasukan infantri dengan
senjata berat untuk menyerbu Surabaya dari darat, laut, maupun udara.
Ultimatum ini dirasa menghina terhadap bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang cinta damai tetapi lebih cinta
kemerdekaan. Oleh karena tepat pukul 22.00 tanggal 9 November 1945 rakyat
Surabaya menolak ultimatum tersebut secara resmi melalui pernyataan Gubernur
Soeryo. Karena penolakan ultimatum itu maka meletuslah pertempuran pada tanggal
10 November 1945. Melalui siaran radio yang dipancarkan dari Jl. Mawar No. 4
Bung Tomo membakar semangat juang arek-arek Surabaya dan menciptakan pekik
persatuan demi revolusi yaitu “merdeka atau mati”. Di samping itu juga
merupakan titik balik bagi Belanda karena mengejutkan pihak Belanda yang tidak
menyangka kekuatan RI mendapat dukungan rakyat. Rakyat Surabaya tidak takut
dengan gempuran Sekutu. Kontak senjata pertama terjadi di Perak sampai pukul
18.00. pasukan sekutu dibawah pimpinan Jenderal Mansergh mengerahkan satu
divisi infantri sebanyak 10.000 - 15.000 orang dibantu tembakan dari laut oleh
kapal perang penjelajah “Sussex”
serta pesawat tempur “mosquito”
dan “Thunderbolt”.
Pertempuran berlangsung selama tiga minggu. Dalam
pertempuran di Surabaya ini seluruh unsur kekuatan rakyat bahu membahu, baik
dari TKR, PRI, BPRI, Tentara Pelajar, Polisi Istimewa, BBI, PTKR, maupun TKR
laut dibawah komandan pertahanan Kota, Soengkono. Peristiwa 10 November ini juga
tidak lepas dari peran kaum ulama. Ulama besar seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH.
Wahab Hasbullah, serta kyai – kyai pesanren lainnya yang mengerahkan santri –
santri merekan dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan. Akibat
pertempuran tersebut ± 6.000 rakyat Surabaya gugur. Pengaruh pertempuran
Surabaya berdampak luas di kalangan internasional, bahkan masuk dalam agenda
sidang Dewan Keamanan PBB tanggal 7-13 Februari 1946.
Kota Surabaya memang hancur, tetapi pertempuran ini
menunjukkan suatu semangat serta sikap pantang mundur para pejuang dalam
mempertahankan kemerdekaan. Untuk mengenang perjuangan arek – arek Surabaya, di
kota ini kemudian dibangun Tugu Pahlawan dan setiap tanggal 10 November di
peringati sebagai Hari Pahlawan.
2.
Pertempuran
(Palagan) Ambarawa
Kedatangan sekutu di Semarang tanggal 20 Oktober 1945
dibawah pimpinan Brigadir Jenderal Bethel semula diterima dengan baik oleh
Gubernur Jawa Tengah Mr. Wongsonegoro karena akan mengurus tawanan perang. Akan
tetapi, secara diam-diam mereka bersama-sama NICA dan mempersenjatai para bekas
tawanan perang Ambarawa dan Magelang. Hal ini menimbulkan kemarahan pihak
Indonesia, maka konflik bersenjata tidak bisa dihindari.
Setelah terjadi insiden di Magelang antara TKR dengan
tentara Sekutu maka tanggal 2 November 1945
Presiden Soekarno dan BrigJend Bethtel mengadakan perundingan gencatan
senjata. Berikut ini 3 dari 12 butir kesepakatan antara pemerintah RI dan pihak
sekutu :
§
Sekutu akan tetap menempatkan pasukannya di
Magelang dalam rangka menyelesaikan tugas pokoknya, yaitu mengurus para
tahanan, tetapi dengan jumlah yang terbatas.
§
Jalan raya antara Magelang dan Semarang tetap
dibuka bagi lalu lintas tentara sekutu dan masyarakat Indonesia.
§
Sekutu tidak akan mendukung aktifitas NICA dalam
badan – badan yang berada di bawah kekuasaannya.
Dalam kenyataannya pihak sekutu melanggar kesepakatannya,
salah satunya adalah menambah jumlah pasukannya di Magelang. Pertempuran
Ambarawa dimulai dari insiden yang terjadi di Magelang pada tanggal 26 Oktober
1945. Pada tanggal 20 November 1945 di Ambarawa pecah pertempuran antara
pasukan TKR di bawah pimpinan Mayor Sumarto melawan tentara Sekutu. Pertempuran
Ambarawa mengakibatkan gugurnya Letkol Isdiman, Komandan Resimen Banyumas.
Posisi Letkol Isdiman kemudian digantikan oleh Letkol Soedirman. Kehadiran
Letkol Soedirman memberikan nafas baru kepada pasukan – pasukan RI. Koordinasi
diadakan kepada para komandan - komandan sektor untuk menyusun strategi
penyerangan terhadap musuh.
Pada tanggal 21 November 1945 pasukan Sekutu mundur dari
Magelang ke Ambarawa. Gerakan ini segera dikejar resimen Kedu Tengah dibawah pimpinan Letnal Kolonel M. Sarbini
dan meletuslah pertempuran Ambarawa. Pasukan
Angkatan muda dibawah Pimpinan Sastrodihardjo yang diperkuat pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan
Surakarta menghadang sekutu di desa Lambu. Pada tanggal 12 Desember 1945
pasukan TKR berhasil mengepung musuh yang bertahan dibenteng Willem, yang
terletak ditengah-tengah kota Ambarawa. Selama 4 hari 4 malam kota Ambarawa di
kepung. Kerena merasa terjepit maka pada tanggal 15 Desember 1945 pasukan
Sekutu meninggalkan Ambarawa menuju ke Semarang.
Pertempuran di Ambarawa sering dikenal dengan peristiwa
“Palagan Ambarawa”. Untuk mengenang peristiwa tersebut dibangun Monumen Palagan
Ambarawa di tengah kota Ambarawa. Selain itu tanggal 15 Desember diperingati
sebagai hari jadi TNI AD atau Hari Juang
Kartika.
3. Pertempuran Medan Area
Berita Proklamasi Kemerdekaan baru sampai di Medan pada
tanggal 27 Agustus 1945. Hal ini disebabkan sulitnya komunikasi dan adanya
sensor dari tentara Jepang. Berita tersebut dibawa oleh Mr. Teuku M. Hasan yang
diangkat menjadi Gubernur Sumatra. Ia ditugaskan oelh pemerintah untuk
menegakkan kedaulatan Republik Indonesia di Sumatra dengan membentuk Komite Nasional
Indonesia di wilayah itu.
Pada tanggal 9 Oktober 1945 pasukan sekutu mendarat di
Sumatra Utara di bawah pimpinan Brigadir Jenderal E.T.D. Kelly. Awalnya mereka
diterima secara baik oleh pemerintah RI di Sumatra Utara sehubungan dengan
tugasnya untuk membebaskan tawanan perang (tentara Belanda). Akan tetapi, serdadu
Belanda dan NICA ikut membonceng pasukan ini yang dipersiapkan mengambil alih
pemerintahan. Hal ini menimbulkan konflik dengan TKR dan BPI (Barisan Pemuda
Indonesia) pimpinan Achmad Tahir yang merupakan bekas seorang perwira tentara sukarela.
Sebuah insiden terjadi di hotel Jalan Bali, Medan pada
tanggal 13 Oktober 1945. Saat itu seorang penghuni hotel (pasukan NICA)
merampas dan menginjak-injak lencana Merah Putih yang dipakai pemuda Indonesia.
Hal ini mengundang kemarahan para pemuda. Akibatnya terjadi perusakan dan
penyerangan terhadap hotel yang banyak dihuni pasukan NICA. Setelah kejadian
tersebut pada tanggal 18 Oktober 1945 Brigadir Jenderal T.E.D Kelly memberikan
ultimatum kepada pemuda Medan agar menyerahkan senjatanya. Aksi-aksi teror
mulai dilakukan oleh Sekutu dan NICA. Pada tanggal 1 Desember 1945 Sekutu
memasang papan-papan bertuliskan Fixed
Boundaries Medan Area (Batas Resmi Wilayah Medan) di
berbagai sudut pinggiran Kota Medan. Tulisan ini semacam “garis polisi”, yang
diyakini akan menghambat pergerakan para pemuda dan TKR terhadap pasukan
sekutu.
Pada tanggal 10 Desember 1945 pasukan Sekutu melancarkan
serangan militer secara besar-besaran dengan menggunakan pesawat-pesawat tempur. Pada bulan April 1946 pasukan inggris
berhasil mendesak pemerintahan RI ke luar Medan. Gubernur, Markas Divisi TKR,
Walikota RI pindah ke Pematang Siantar. Walaupun belum berhasil menghalau
pasukan Sekutu, rakyat Medan terus berjuang dengan membentuk Laskar Rakyat
Medan Area.
Selain di daerah Medan, di daerah-daerah sekitarnya juga
terjadi perlawanan rakyat terhadap Jepang, Sekutu, dan Belanda. Di Padang dan
Bukit Tinggi pertempuran berlangsung sejak bulan November 1945. Sementara itu
dalam waktu yang sama di Aceh terjadi pertempuran melawan Sekutu. Dalam
pertempuran ini Sekutu memanfaatkan pasukan-pasukan Jepang untuk menghadapi
perlawanan rakyat sehingga pecah pertempuran yang dikenal dengan peristiwa Krueng Panjol Bireuen. Pertempuran di
sekitar Langsa/Kuala Simpang Aceh semakin sengit ketika pihak rakyat dipimpin
langsung oleh Residen Teuku Nyak Arief. Dalam pertempuran ini pejuang kita
berhasil mengusir Jepang. Dengan demikian diseluruh Sumatra rakyat bersama
pemerintah membela dan mempertahankan kemerdekaan.
4. Peristiwa Merah Putih di Manado
Peristiwa Merah Putih terjadi tanggal 14 Februari di
Manado. Para pemuda tergabung dalam pasukan KNIL Kompeni VII bersama laskar
rakyat dari barisan pejuang melakukan perebutan kekuasaan pemerintahan di
Manado, Tomohon, dan Minahasa. Sekitar 600 orang pasukan dan pejabat Belanda
berhasil ditahan. Pada tanggal 16 Februari 1946 mereka mengeluarkan surat
selebaran yang menyatakan bahwa kekuasaan diseluruh Manado telah berada di
tangan Republik Indonesia. Untuk memperkuat kedudukan Republik Indonesia, para
pemimpin dan pemuda menyusun pasukan keamanan dengan nama Pasukan Pemuda
Indonesia yang dipimpin oleh Mayor Waisan.
Bendera Merah Putih dikibarkan diseluruh pelosok Minahasa
hampir selama satu bulan, yaitu sejak tanggal 14 Februari 1946. Dr. Sam
Ratulangi diangkat sebagai Gubernur Sulawesi bertugas untuk memperjuangkan
keamanan dan kedaulatan rakyat Sulawesi. Ia memerintahkan pembentukan badan
perjuangan pusat keselamatan rakyat. Dr. Sam Ratulangi membuat petisi yang
ditandatangani oleh 540 pemuka masyarakat Sulawesi. Dalam petisi itu dinyatakan
bahwa seluruh rakyat Sulawesi tidak dapat dipisahkan dari Republik Indonesia.
Oleh karena petisi itu, pada tahun 1946, Sam Ratulangi ditangkap dan dibuang ke
Serui (Irian Barat dan sekarang Papua).
5. Peristiwa Bandung Lautan Api
Terjadinya peristiwa Bandung Lautan Api diawali dari
datangnya Sekutu pada tanggal 17 Oktober 1945. Pada waktu itu para pemuda dan
pejuang di kota Bandung sedang gencar-gencarnya merebut senjata dan kekuasaan
dari tangan Jepang. Oleh Sekutu, senjata dari hasil pelucutan tentara Jepang
supaya diserahkan padanya. Bahkan pada tanggal 21 November 1945, TKR dan badan
– badan perjuangan melancarkan serangan terhadap wilayah kedudukan Inggris di
bagian utara, termasuk Hotel Homann dan Hotel Preager yang mereka gunakan
sebagai markas. Tiga hari kemudian, sekutu menyampaikan ultimatum kepada
Gubernur Jawa Barat agar Bandung bagian utara dikosongkan oleh pihak Indonesia
paling lambat tanggal 29 November 1945 dengan alasan untuk menjaga keamanan.
Oleh para pejuang, ultimatum tersebut tidak diindahkan dan mendorong pasukan
TRI untuk melakukan operasi “bumi hangus”. Keputusan untuk membumihanguskan
Bandung diambil melalui musyawarah Madjelis
Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3).
Sekutu mengulangi ultimatumnya pada tanggal 23 Maret 1945
yakni agar TRI meninggalkan kota Bandung. Menghadapi ultimatum tersebut para
pejuang kebingungan karena mendapat dua perintah yang berbeda. Pemerintah RI di
Jakarta yang diwakili oleh Komandan divisi III TRI Kolonel Abdul Haris
Nasoetion memerintahkan agar TRI mengosongkan kota Bandung. Sementara markas
TRI di Yogyakarta menginstruksikan agar Bandung tidak dikosongkan. Akhirnya
para pejuang mematuhi perintah dari Jakarta. Pada tanggal 23-24 Maret 1946 para
pejuang meninggalkan Bandung walaupun dengan berat hati. Namun sebelum
meninggalkan kota Bandung, terlebih dahulu para pejuang Republik Indonesia
menyerang ke arah kedudukan - kedudukan Sekutu sambil membumihanguskan kota
Bandung bagian Selatan. Tujuannya agar Sekutu tidak dapat menduduki dan
memanfaatkan sarana-sarana yang vital. Peristiwa ini dikenal dengan Bandung
Lautan Api. Sementara itu para pejuang dan rakyat Bandung mengungsi ke luar
kota.
Dalam peristiwa Bandung Lautan Api gugur seorang pahlawan
yang bernama Moh. Toha dan Ramdan dua
milisi Barisan Rakyat Indonesia (BRI). Untuk mengabadikan terjadinya peristiwa
Bandung Lautan Api, seorang komposer yang bernama Ismail Marzuki menciptakan
lagu “Halo - Halo Bandung”.
6. Pertempuran Puputan Margarana
Salah satu isi perundingan Linggajati pada tanggal l0
November 1946 adalah bahwa Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi
Sumatera, Jawa, dan Madura. Selanjutnya Belanda harus sudah meninggalkan daerah
de facto paling lambat tanggal 1
Januari 1949. Pada tanggal 2 dan 3 Maret 1949 Belanda mendaratkan pasukannya ± 2000
tentara di Bali, ikut pula tokoh-tokoh yang memihak Belanda. Pada waktu itu
Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai Komandan Resimen Nusa Tenggara sedang pergi
ke Yogyakarta untuk mengadakan konsultasi dengan Markas tertinggi TRI.
Sementara itu perkembangan politik di pusat Pemerintahan Republik Indonesia
kurang menguntungkan akibat perundingan Linggajati di mana Bali tidak diakui sebagai
bagian wilayah Republik Indonesia. Rakyat Bali merasa kecewa terhadap isi
perundingan ini. Lebih-lebih ketika Belanda membujuk Letnan Kolonel I Gusti
Ngurah Rai diajak membentuk Negara Indonesia Timur. Ajakan tersebut ditolak
dengan tegas oleh I Gusti Ngurah Rai, bahkan dijawab dengan perlawanan
bersenjata Pada tanggal 18 November 1946 I Gusti Ngurah Rai memperoleh
kemenangan dalam penyerbuan ke tangsi NICA di Tabanan.
Konsolidasi dan pemusatan pasukan Ngurah Rai (yang dikenal
dengan nama pasukan Ciung Wanara) ditempatkan di Desa Adeng Kecamatan Marga.
Belanda menjadi gempar dan berusaha mencari pusat kedudukan pasukan Ciung
Wanara. Pada tanggal 20 November 1946 dengan kekuatan besar Belanda melancarkan
serangan dari udara terhadap kedudukan Ngurah Rai di desa Marga. Pertempuran
hebat terjadi pada tanggal 29 November 1946 di Margarana, sebelah utara
Tabanan. Karena kalah dalam persenjataan maka pasukan Ngurah Rai dapat
dikalahkan.
Dalam keadaan kritis, Letkol I Gusti Ngurah Rai
mengeluarkan perintah “Puputan” yang berarti bertempur sampai habis-habisan (fight to the end) demi membela Nusa dan
Bangsa. Letkol I Gusti Ngurah Rai gugur beserta seluruh anggota pasukan dalam
pertempuran tersebut sebagai kusuma bangsa. Jenazahnya dimakamkan di desa
Marga. Pertempuran tersebut terkenal dengan nama Puputan Margarana. Gugurnya
Letkol I Gusti Ngurah Rai telah melicinkan jalan bagi usaha Belanda untuk
membentuk Negara Indonesia Timur.
Untuk mengenang jasa Letkol I Gusti Ngurah Rai, maka nama I
Gusti Ngurah Rai diabadikan menjadi sebuah nama bandara di Denpasar, Bali. Nama
Bandara tersebut adalah bandara “Ngurah Rai”. Di samping itu juga dianugerahi
sebagai Pahlawan Anumerta.
7. Peristiwa Westerling di Makassar
Sebagai Gubernur Sulawesi Selatan yang diangkat tahun 1945,
Dr. G.S.S.J. Ratulangie melakukan aktivitasnya dengan membentuk Pusat Pemuda
Nasional Indonesia (PPNI). Organisasi yang bertujuan untuk menampung aspirasi
pemuda ini pernah dipimpin oleh Manai Sophian.
Sementara itu pada bulan Desember 1946 Belanda mengirimkan
pasukan ke Sulawesi Selatan di bawah pimpinan Raymond Westerling. Kedatangan
pasukan ini untuk “membersihkan” daerah Sulawesi Selatan dari pejuang-pejuang
Republik dan menumpas perlawanan rakyat yang menentang terhadap pembentukan
Negara Indonesia Timur (NIT).
Di daerah ini pula, pasukan Australia yang diboncengi NICA
mendarat kemudian membentuk pemerintahan sipil di Makassar, karena Belanda
melakukan usaha memecah belah rakyat maka tampillah pemuda-pemuda pelajar
seperti A. Rivai, Paersi, dan Robert Wolter Monginsidi melakukan perlawanan
dengan merebut tempat-tempat strategis yang dikuasai NICA. Selanjutnya untuk
menggerakkan perjuangan dibentuklah Laskar Pemberontak Indonesia Sulawesi (LAPRIS)
dengan tokoh - tokohnya Ranggong Daeng Romo, Makkaraeng Daeng Djarung, dan
Robert Wolter Monginsidi sebagai Sekretaris Jenderalnya.
Sejak tanggal 7 – 25 Desember 1946 pasukan Westerling
secara keji membunuh beribu-ribu rakyat yang tidak berdosa. Pada tanggal 11
Desember 1946 Belanda menyatakan Sulawesi dalam keadaan perang dan hukum
militer. Pada waktu itu Raymond Westerling mengadakan aksi pembunuhan massal di
desa-desa yang mengakibatkan sekitar 40.000 orang tidak berdosa menjadi korban
kebiadaban.
8. Serangan Umum 1 Maret 1949
Ketika Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua
pada bulan Desember 1948 ibu kota RI Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda.
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta beserta sejumlah menteri
ditawan oleh Belanda. Belanda menyatakan bahwa RI telah runtuh. Namun di luar
perhitungan Belanda pada saat yang krisis ini terbentuklah Pemerintah Darurat
Republik Indonesia (PDRI) di Bukit Tinggi, Sumatera Barat oleh Syarifudin
Prawiranegara. Di samping itu Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Kepala
Daerah Istimewa Yogyakarta tetap mendukung RI sehingga masyarakat Yogyakarta
juga memberikan dukungan kepada RI. Pimpinan TNI di bawah Jenderal Sudirman
yang sebelumnya telah menginstruksikan kepada semua komandan TNI melalui surat
Perintah Siasat No. 1 bulan November 1948 yang isinya adalah :
1)
Memberikan kebebasan kepada setiap komandan
untuk melakukan serangan terhadap posisi militer Belanda
2)
Memerintahkan kepada setiap komandan untuk
membentuk kantong-kantong pertahanan (wehrkreise)
3)
Memerintahkan agar semua kesatuan TNI yang
berasal dari daerah pendudukan untuk segera meninggalkan Yogyakarta untuk
kembali ke daerahnya masing-masing (seperti Devisi Siliwangi harus kembali ke
Jawa Barat), jika Belanda menyerang Yogyakarta. Untuk pertahanan daerah
Yogyakarta dan sekitarnya diserahkan sepenuhnya kepada pasukan TNI setempat
yakni Brigade 10 di bawah Letkol Soeharto.
Dengan adanya agresi Militer Belanda maka dalam beberapa
minggu kesatuan TNI dan kekuatan bersenjata lainnya terpencar-pencar dan tidak
terkoordinasi. Namun para pejuang mampu melakukan komunikasi melalui jaringan
radio, telegram maupun para kurir. Bersamaan dengan upaya konsolidasi di bawah
PDRI, TNI melakukan serangan secara besar-besaran terhadap posisi Belanda di
Yogyakarta. Serangan ini dilakukan pada tanggal 1 Maret 1949 dipimpin oleh
Letkol Soeharto. Sebelum serangan dilakukan, terlebih dahulu meminta
persetujuan kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Kepala Daerah Istimewa
Yogyakarta. Dalam serangan ini, TNI memakai sistem kantong-kantong pertahanan (wehrkreise).
Untuk
memudahkan penyerangan, maka dibentuk beberapa sektor yaitu :
§
sektor Barat dipimpin oleh Mayor Ventje Sumual
§
sektor Selatan dan Timur dipimpin oleh Mayor
Sardjono
§
sektor Utara dipimpin oleh Mayor Kusno
§
sektor Kota dipimpin oleh Letnan Amir Murtono
dan Letnan Masduki
Pada malam hari menjelang serangan umum, pasukan-pasukan
telah merayap mendekati kota dan melakukan penyusupan-penyusupan. Pagi hari
tanggal 1 Maret 1949 sekitar pukul 06.00 WIB tepat sirene berbunyi, serangan
dilancarkan dari segala penjuru kota. Letkol Soeharto langsung memimpin
penyerangan dari sektor Barat sampai batas Jalan Malioboro. Rakyat membantu
memperlancar jalannya penyerangan dengan memberikan bantuan logistik. Serangan
umum ini membawa hasil yang memuaskan sebab para pejuang dapat menguasai kota
Yogyakarta selama 6 jam yakni jam 06.00 sampai jam 12.00 dan setelah itu
pasukan TNI mengundurkan diri. Hal ini sesuai dengan rencana yang ditentukan
sejak awal. Bersamaan dengan itu bantuan Belanda tiba dengan kendaraan lapis
baja serta pesawat terbang. Belanda melakukan serangan balasan.
Berita Serangan Umum ini disiarkan RRI yang sedang
bergerilya di daerah Gunung Kidul, yang dapat ditangkap RRI di Sumatera,
selanjutnya dari Sumatera berita itu disiarkan ke Yangoon dan India. Keesokan
harinya peristiwa itu juga dilaporkan oleh R. Sumardi ke PDRI di Buktitinggi
melalui radiogram dan juga disampaikan pula kepada Maramis. (diplomat RI di New
Delhi, India) dan L.N. Palar (Diplomat RI di New York, Amerika Serikat).
Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta
ini mempunyai dua arti penting yaitu :
§
Ke dalam
a.
Meningkatkan semangat para pejuang RI, dan juga
secara tidak langsung memengaruhi sikap para pemimpin negara federal buatan Belanda
yang tergabung dalam BFO.
b.
Mendukung perjuangan secara diplomasi, yakni
Serangan Umum ini berdampak adanya perubahan sikap pemerintah Amerika Serikat
yang semula mendukung Belanda selanjutnya menekan kepada pemerintah Belanda
agar melakukan perundingan dengan RI.
§
Ke luar
a.
Menunjukkan kepada dunia Internasional bahwa TNI
mempunyai kekuatan untuk melakukan serangan
b.
Mematahkan moral pasukan Belanda. Untuk
mengenang para pejuang dan peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 maka pemerintah
Yogyakarta membangun “Monumen Yogya Kembali”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar